Oleh Hasan Basri Marwah*
Posisi jaringan ulama di Nusa Tenggara Barat bisa dikatakan cukup sentral bahkan menjadi tulang punggung jaringan keulamaan tradisional di Indonesia. Hal ini patut saya sampaikan sebelum membahas kisah tentang tiga ulama yang pertama kali memakai gelar tuan guru berdasarkan riwayat masyarakat Lombok.
Pulau Sumbawa yang berada di sisi Timur pulau Lombok memiliki sejumlah nama besar dalam catatan ilmiah tentang jaringan ulama Jawa abad ke-19 di Makah. Kisah beberapa kiai Jawa yang menolak menunggang kuda dari Sumbawa adalah bentuk penghormatan kepada kebesaran ulama Sumbawa. Tiga nama besar ulama Sumbawa yang menempati posisi penting dalam sejarah keulamaan Nusantara adalah Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Zaenuddin Sumbawa, dan Syaikh Ibarahim Sumbawa.
Syaikh Abdul Ghani Bima adalah ulama dari kabupaten Bima yang disebutkan dalam hampir semua literatur sebagai guru besar di Haramain dan guru dari para pendiri atau masayikh Nahdlatul Ulama. Nama-nama besar di pulau Jawa seperti Syeikh Mahfudz Termas, Syaikh Nawawi al Bantani, Syaikh Akhmad Khatib Sambas (pendiri Tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah), juga senarai murid yang panjang dari Jawa (Nusantara) adalah murid dari Syaikh Abdul Ghani Bima.
Tuan Guru Abdul Ghani Bima |
Syaikh Zainuddin Sumbawa pun sama. Ia memiliki otoritas mengajar di Haramain, dan terdapat dalam senarai sanad sejumlah tarekat yang berkembang di Nusantara.
Adapun Syaikh Ibrahim Sumbawa terkenal karena kehebatannya dalam seni kaligrafi. Beberapa karya dari ulama kabupaten Sumbawa ini tersimpan di beberapa tempat di luar Indonesia. Bidang keahlian yang dimiliki Syaikh Ibrahim ini sangat menarik ditelisik lebih jauh karena kaligrafi bukan semata tulisan tangan indah biasa.
Semua ulama tradisional masa lalu memiliki kemampuan menulis tangan indah tetapi kaligrafi sebagai seni menulis indah sangat jarang menjadi fokus ulama, dan Syaikh Ibrahim adalah salah satu dari sedikit ahli kaligrafi dari Nusantara yang diakui di masanya di negara lain.
Kebesaran tiga ulama dari Sumbawa penting diriwayatkan kembali karena dua alasan. Pertama, jaringan ulama Ahlussunnah wal Jamaah Nusantara itu tersebar dan tidak terpusat di satu daerah, seperti terkesan belakangan ini. Nusa Tenggara Barat juga merupakan salah satu tulang punggung jaringan keulamaan yang masih ada sampai hari ini.
Kedua, hari ini citra pulau Sumbawa yang pernah melahirkan ulama besar yang berpaham moderat merosot karena perkembangan kelompok garis keras Islam, dan jaringan terorisme (walaupun perlu penelaah lebih dalam) belakangan ini.
Sowan Ulama di Lombok
Sewaktu masih di bangku Sekolah Dasar (SD), saya biasa diajak almarhum ayah sowan berkeliling ke sejumlah tuan guru di Lombok. Saya ingat wajah teduh sejumlah tuan guru yang tenar pada 1980-an di Lombok. Mereka di antaranya Allahu yarhamhum: Tuan Guru Abdul Hafidz Pedaleman Kediri, Lombok Barat dan Tuan Guru Abhar Muhyiddin, pendiri Pesantren Darul Falah, Pagutan, Mataram, tuan rumah Munas dan Konbes NU 2017.
Beberapa kali juga saya diajak ke Tua Guru Faishal (sahabat karib Gus Dur). Saya ingat tradisi sejumlah masayikh (para Tuan Guru) di Lombok yang susah ditemui karena sedang menjalankan uzlah dalam rentang waktu panjang, seperti almarhum Tuan Guru Najmuddin Makmun, Praya, Lombok Tengah.
Sowan kepada alim-ulama adalah ibadah tersendiri dalam tradisi masyarakat muslim tradisional karena memandang wajah orang saleh merupakan anjuran dalam kitab-kitab babon pesantren. Selain berkah, transmisi pengetahuan terjadi dalam tradisi sowan yang belum tentu bisa diperoleh dalam proses mengaji formal. Kisah teladan orang para saleh memberikan kekuatan tersendiri bagi seseorang dalam mengarungi kehidupan yang tidak selalu mudah.
Kisah Tiga Tuan Guru Pertama
Satu informasi yang saya dengar berulang-ulang selama diajak sowan oleh ayah adalah kisah tiga ulama Lombok di akhir abad ke-19 Masehi , yakni Tuan Guru Umar Kelayu, Lombok Timur; Tuan Guru Abdul Hamid Pagutan, Mataram; dan Tuan Guru Rais Sekarbela, Mataram. Ketiga ulama Lombok tersebut konon yang pertama kali memakai gelar tuan guru di Lombok.
Berikut ini kisahnya :
Pada satu masa di akhir tahun 1800-an di Lombok, tersebutlah seorang santri yang mengaji berkeliling ke tiga Tuan Guru tersebut di atas. Ketika sang santri sedang mengikuti pengajian di kediaman Tuan Guru Hamid, Pagutan, saat itu tengah dibahas hukum memakan senggah atau sejenis kijang bertanduk satu.
Menurut Tuan Guru Hamid, kijang semacam itu tidak boleh dikonsumsi. Sang santri manggut-manggut, menerima pendapat tuan guru kharismatik yang pernah ngaji di Tanah Suci itu.
Keesokan hari, sang santri menghadiri pengajian di kediaman Tuan Guru Umar Kelayu, Lombok Timur. Betapa terpana dia ketika sampai di gedeng (dhalem) Tuan Guru karena ia sedang menjamu beberapa santri dan tamunya dengan menu kijang panggang. Lantas sang santri bertanya, "Tuan Guru, kemarin saya mengaji kepada Tuan Guru Hamid, dan menurut beliau kijang tidak boleh dimakan".
Tuan Guru Umar sepontan dan santai menjawab, "Jangan samakan saya yang rakus ini dengan Tuan Guru Hamid yang zuhud dan wirai. Saya tidak sehati-hati beliau". Sang santri terdiam dengan jawaban Tuan Guru Umar.
Besok harinya sang santri kembali mengaji ke Tuan Guru Hamid. Ketika pengajian hampir ditutup, sang santri bertanya kepada Tuan Guru Hamid, "Tuah Guru, kemarin saya mengaji ke Lombok Timur. Saya melihat Tuan Guru Umar mengkonsumsi kijang yang panjenengan tidak perbolehkan,"
"Tuan Guru Umar adalah samudera ilmu sehingga tahu persis mana makanan yang boleh dan tidak boleh di makan. Dalam hal ini saya bukan bandingan beliau. Dan pastilah beliau tahu tentang masalah kebolehan memakan kijang. Saya saja yang karena keterbatasan ilmu tidak tahu dasar kebolehan dan ketidakbolehan sesuatu," jawab Tuan Guru Hamid dengan rendah hati.
Sang santri seperti mendapat pelajaran besar dari perjalanan mengajinya, tidak saja informasi tekstual tetapi teladan tentang tradisi saling menghargai dan bersikap lapang dalam perbedaan pendapat. Sampai sekarang, kisah ini seringkali diputar-ulang oleh masyarakat muslim tradisional di Lombok.
Tuan Guru Umar adalah sosok ulama kharismatik Lombok yang berasal dari desa Kelayu, Lombok Timur yang menghabiskan masa belajar dan mengajarnya cukup panjang di Tanah Suci, Makah. Ia memiliki murid yang tersebar di seantero Lombok yang semuanya alim. Mereka di antaranya Tuan Guru Lopan, Lombok Tengah; Tuan Guru Shiddiq Karang Kelok (satu khalifah tarekat Qodiriyah wa Naqsabandiyah yang langsung ditunjuk oleh Syeikh Abdul Karim Banten); dan Tuan Guru Ali Batu Sakra.
Selain itu, Tuan Guru Umar juga menurukan beberapa Tuan Guru kharismatik, seperti Tuan Guru Ahmad Teretet, Tuan Badar, dan Tuan Guru Izzuddin Rakam (cucu). Tuan Guru Umar memiliki posisi yang sama dengan dengan Syaikhona Kholil Bangkalan dalam konteks regenarasi kiai di Jawa.
Kebetulan dalam riwayatnya disebutkan bahwa Tuan Guru Umar adalah adik ipar dari Syaikhona Kholil. Bahkan dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Mbah Hasyim Asy'ari pernah mengaji kepada Tuan Guru Umar di Makah.
Tuan Guru Hamid terkenal karena kewira-iannya. Kalau keluar rumah, Tuan Guru Hamid selalu menutup telinganya dengan kapas dan memakai kacamata hitam sambil merendahkan pandangan beliau (ghoddul bashori).
Salah satu murid beliau adalah Tuan Guru Shaleh Hambali, Bengkel, Lombok Barat yang merupakan Rais Syuriah pertama NU di NTB. Di antara keturunannya adalah Tuan Guru Mali. Kemudian cucu beliau adalah Tuan Guru Mustajab dan Tuan Guru Abhar Muhyiddin.
Tuan guru ketiga yang saya bicarakan, Tuan Guru Rais, adalah pendiri Pesantren Ar-Raisyiah, Sekarbela, Mataram, yang masih keturunan dari Tuan Guru Mustafa Kamal (saya singgung pada tulisan sebelumnya). Sekarbela adalah perkampungan yang luas dan terkenal karena menjadi sentra oleh-oleh perhiasan, terutama emas dan mutiara.
Di Sekarbela, tradisi keilmuwannya sangat masyhur, terutama keahlian di bidang ilmu alat, gramatika bahasa Arab, dan fikih. Estafeta pesantren Ar-Raisyiah dilanjutkan oleh beberapa murid dan turunannya,seperti Tuan Guru Mudjib dan Bu Nyai Waqiah (tokoh Muslimat NU NTB).
Dari jaringan keilmuwan dan kekerabatan ketiga tuan guru kharismatik tersebut muncul basis ulama Ahlussunnah wal Jamaah yang nantinya menyambut berdirinya Nahdlatul Ulama. Para pelanjut ketiga tuan guru tersebut secara konsisten mempertahankan khidmah kepada Nahdlatul Ulama dalam segala masa dan situasi. Wallahu a'lam bishawab.
* Pengurus Lesbumi PBNU, penulis, serta pegiat dan pemerhati budaya. S2 Cultural Studies di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Berasal dari Mataram Nusa Tenggara Barat dan kini menetap di Yogyakarta
Sumber:
0 Komentar