Purbalingga, PecintaUlama.ID - Para ulama utusan dari pengurus Nahdlatul Ulama (NU) tingkat kabupaten dan kota se-Jawa Tengah menyatakan sepakat bahwa mahar politik hukumnya haram. Keputusan ini diambil melalui bahtsul masail atau musyawarah hukum Islam (Komisi Fatwa NU) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah dalam Musykerwil PWNU Jawa Tengah di SMK Maarif NU Bobotsari Purbalingga Jawa Tengah, Sabtu (21/4).
Hukum haram memberi dan menerima mahar politik ditetapkan setelah melalui musyawarah dengan berdasarkan sumber-sumber hukum Islam. "Mahar politik itu istilah dan kejadian baru yang belum dikenal pada masa lampau. Jadi para kiai punya tanggung jawab untuk memberikan hukumnya menurut Islam," jelas Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah, KH Ubaidullah Shodaqoh.
Alasan yang mendasari mahar politik haram baik dalam memberi maupun menerima yaitu untuk menghentikan praktik korupsi. "Apabila ada orang memberikan mahar politik kepada partai, baik dananya digunakan untuk aktivitas politiknya seperti biaya pemenangan atau untuk pengurus partai sendiri maka ia sama dengan menyuap kepada pemimpin partai supaya ia diloloskan atau diberi rekomendasi untuk maju dalam Pilkada. Ini dalam hukum Islam namanya risywah (suap .red). Risywah hukumnya haram," papar salah satu penanggung jawab komisi Bahtsul Masail, KH Roghib Mabrur.
Selain memutuskan hukum haram terhadap mahar politik, para kiai se Jawa Tengah juga menghimbau kepada semua pengurus partai supaya terbuka dalam merekrut bakal calon legislatif (caleg) atau kepala daerah dan transparan dalam menerima dan mengelola pendanaannya.
"Perekrutan Caleg atau calon kepala daerah hingga presiden menurut fikih (hukum Islam .red) tidak boleh berdasarkan pada keunggulan kekayaan atau siapa yang berani membayar lebih banyak, tapi harus didasarkan pada kompetensi yang baik, yaitu dilihat dari kapasitas, integritas dan intelektualitas dengan mengedepankan keadilan dan kejujuran," urainya.
"Karena itu apabila seseorang merasa memiliki kemampuan menjadi pemimpin lalu mendaftar ke partai maka ia tidak boleh diminta membayar mahar politik. Ia juga haram memberikannya, begitu juga pengurus partai haram menerimanya. Ini bertujuan untuk saddan lil bab atau menutup segala hal yang berkaitan dengan praktik suap-menyuap (risywah)," imbuhnya.
Demokrasi Sehat
Pakar politik dari Universitas Diponegoro (Undip), Budi Setiono menjelaskan bahwa praktik mahar politik dapat menghambat para calon pemimpin yang baik tapi tidak memiliki modal pendanaan. Karena itu, menurutnya mahar politik sangat mengganggu bagi jalannya demokrasi yang sehat.
"Demokrasi yang sehat itu tidak ada praktik risywah di dalamnya. Risywah bisa mendorong orang korupsi," jelasnya saat menjadi narasumber dalam Bahtsul Masail pembahasan hukum mahar politik.
Berkaitan dengan istilah mahar politik sendiri, menurut pria yang juga menjabat sebagai Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Tengah itu belum ada definisinya, tapi maksud dan praktiknya bisa dipahami.
"Dalam UU No 10 tahun 2016 dinyatakan bahwa partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan gubernur, bupati dan walikota. Jadi undang-undangnya jelas, hanya saja mahar politik ini uangnya untuk apa, ini yang harus dipertegas, supaya bisa ditetapkan sebagai bentuk korupsi atau bukan," pungkasnya. [AR/PecintaUlama.ID]
Source:
0 Komentar