PecintaUlama.ID - Suatu ketika di tahun 2001 saya dan beberapa kawan sowan ke kediaman Gus Mus di Rembang, Jawa Tengah. Kami, mahasiswa Filsafat UGM saat itu, berniat mengundang beliau untuk mengisi Studium Generale di kampus.
Kami tiba menjelang Asar. Seseorang menyambut di ruang tamu, memberitahu bahwa beliau sedang beristirahat, dan meminta kami menunggu di sebuah ruangan.
"Nanti bakda salat Asar, beliau akan menemui lagi para tamu," terang santri penyambut tamu kepada kami.
Kami akhirnya berjumpa Gus Mus bakda Maghrib. Sambil menikmati makan malam yang disediakan untuk siapa saja yang berkunjung, Gus Mus melayani kami dan tamu-tamu lain dalam bincang santai tanpa jarak.
Saya lupa menu apa yang kami nikmati petang itu. Yang saya ingat, Gus Mus dahar menu nasi merah yang ditanak dalam buah paprika merah. Gus Mus membelah kulit paprika yang sudah dikukus itu, lalu menyendoki nasi merah di dalamnya sedikit demi sedikit.
Usai makan malam kami melanjutkan obrolan. Tentang Indonesia, Gus Dur, NU, dan apa saja yang berkelebat dalam pikiran.
Saat kami sedang asyik ngobrol, seorang laki-laki paro baya beruluk salam di pintu. Sambil menggandeng seorang gadis kecil, bapak itu lalu duduk mendekat, berhadap-berhadapan Gus Mus.
"Kiai, mohon berkah doa. Anak perempuan saya ini besok mau ujian."
Gus Mus mengangguk mengiyakan, sambil kemudian bertanya.
"Sudah belajar apa belum?"
Laki-laki itu menoleh ke putrinya yang ia ceritakan duduk di kelas VI SD. Yang dilihat mengangguk yakin.
"Orang sekolah dan mau ujian harus sinau. Itu ikhtiar menuju berhasil bagi seorang yang menuntut ilmu. Tidak boleh hanya mengandalkan doa," ujar Gus Mus.
Kami semua yang di situ turut mendengarkan dengan cara yang seksama, tapi tidak dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Gus Mus lalu melanjutkan..
"Doa itu oli. Ikhtiar adalah mesinnya. Oli berguna untuk mendorong kerja mesin menjadi lebih sempurna. Kalau mesinnya tidak ada, oli justru akan membahayakan. Jika tumpah-tumpah itu hanya akan membuat kita terpeleset."
Kami semua terdiam mendengar kalimah-kalimah sahabat Gus Dur itu.
"Wis, ayo saiki ndunga". Gus Mus memegang kepala si gadis kecil sebentar, lalu mengajak membaca Fatihah sekali. Selesai.
Di tangan para alim seperti Gus Mus, doa dan hubungan manusia dengan Tuhan menjadi sangat sederhana tapi mewah.
Oleh: M Said Hudaini
0 Komentar