Jakarta, PecintaUlama.ID
Fenomena penggunaan kata hijrah sedang digandrungi oleh masyarakat, khususnya generasi muda yang ada di perkotaan. Namun, penggunaan kata hijrah yang sering digunakan pada saat ini dirasa kurang tepat sasaran, justru mengalami penyempitan makna.
Hal ini disinggung oleh H Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama (Menag) saat mengisi kegiatan Kopdar Akbar Santrinet 2019 yang berlangsung di Hotel Artotel Jakarta, Jumat (20/9). Kegiatan ini sendiri diikuti oleh sekitar 100 orang pegiat media dari kalangan santri yang ada di seluruh Indonesia.
"Hijrah itu apa sih? Hijrah itu tidak membuat kita hidup semakin ekslusif yang hanya mementingkan ego kita sendiri. Hijrah itu justru harus membuat kita inklusif dan membuka hati kita terhadap keragaman," ucapnya.
Menurut Lukman, saat ini masih banyak yang salah dalam mengartikan kata hijrah. Seperti orang yang sudah meninggalkan maksiat dianggap sudah berhijrah sehingga enggan berhubungan dengan orang-orang yang masih melakukan maksiat dan hal ini merupakan suatu kesalahan.
"Seakan-akan mereka yang berhijrah dengan baik itu ketika kita tidak lagi berhubungan dengan orang-orang yang belum berhijrah. Ekslusifitas ini yang difahami dari makna hijrah. Padahal bukan itu," ungkapnya.
"Kita meninggalkan kemaksiatan, lalu kita tidak lagi mau untuk berhubungan dengan mereka-mereka yang masih melakukan maksiat. Persepsi yang berkembang seperti itu, padahal bukan itu semestinya," tambahnya.
Menteri yang merupakan putra dari KH Saifuddin Zuhri ini memberikan penegasan bahwa yang seharusnya diberantas itu bukanlah pelaku maksiat, namun perbuatan maupun perilaku dari orang yang melakukan maksiat. Sedangkan terhadap pelakunya hendaknya diberikan pengayoman.
"Padahal yang harus kita berantas itu kan perilakunya, perbuatannya. Bukan pelakunya, bukan orangnya. Terhadap orangnya, pelakunya itu harus kita ayomi," bebernya.
Untuk itu, ia mengajak kepada para santri, khususnya yang hadir di acara ini untuk lebih kreatif lagi dalam menyampaikan pesan-pesan positif sehingga akan lebih mudah diterima dan dicerna oleh masyarakat awam.
"Jadi dituntut kreativitas kita dalam menyampaikan pesan-pesan positif yang akan kita sampaikan sehingga dapat diterima secara mudah. Ini menjadi tantangan kita," pungkasnya.
Hadir dalam kegiatan tersebut Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kementerian Agama Indonesia H Ahmad Zayadi, Kepala Sub Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Kasubdit PD Pontren) Basnang Said, Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat dan Publikasi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Sholla Taufiq, dan beberapa tamu undangan lainnya. [*]
Fenomena penggunaan kata hijrah sedang digandrungi oleh masyarakat, khususnya generasi muda yang ada di perkotaan. Namun, penggunaan kata hijrah yang sering digunakan pada saat ini dirasa kurang tepat sasaran, justru mengalami penyempitan makna.
Hal ini disinggung oleh H Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama (Menag) saat mengisi kegiatan Kopdar Akbar Santrinet 2019 yang berlangsung di Hotel Artotel Jakarta, Jumat (20/9). Kegiatan ini sendiri diikuti oleh sekitar 100 orang pegiat media dari kalangan santri yang ada di seluruh Indonesia.
"Hijrah itu apa sih? Hijrah itu tidak membuat kita hidup semakin ekslusif yang hanya mementingkan ego kita sendiri. Hijrah itu justru harus membuat kita inklusif dan membuka hati kita terhadap keragaman," ucapnya.
Menurut Lukman, saat ini masih banyak yang salah dalam mengartikan kata hijrah. Seperti orang yang sudah meninggalkan maksiat dianggap sudah berhijrah sehingga enggan berhubungan dengan orang-orang yang masih melakukan maksiat dan hal ini merupakan suatu kesalahan.
"Seakan-akan mereka yang berhijrah dengan baik itu ketika kita tidak lagi berhubungan dengan orang-orang yang belum berhijrah. Ekslusifitas ini yang difahami dari makna hijrah. Padahal bukan itu," ungkapnya.
"Kita meninggalkan kemaksiatan, lalu kita tidak lagi mau untuk berhubungan dengan mereka-mereka yang masih melakukan maksiat. Persepsi yang berkembang seperti itu, padahal bukan itu semestinya," tambahnya.
Menteri yang merupakan putra dari KH Saifuddin Zuhri ini memberikan penegasan bahwa yang seharusnya diberantas itu bukanlah pelaku maksiat, namun perbuatan maupun perilaku dari orang yang melakukan maksiat. Sedangkan terhadap pelakunya hendaknya diberikan pengayoman.
"Padahal yang harus kita berantas itu kan perilakunya, perbuatannya. Bukan pelakunya, bukan orangnya. Terhadap orangnya, pelakunya itu harus kita ayomi," bebernya.
Untuk itu, ia mengajak kepada para santri, khususnya yang hadir di acara ini untuk lebih kreatif lagi dalam menyampaikan pesan-pesan positif sehingga akan lebih mudah diterima dan dicerna oleh masyarakat awam.
"Jadi dituntut kreativitas kita dalam menyampaikan pesan-pesan positif yang akan kita sampaikan sehingga dapat diterima secara mudah. Ini menjadi tantangan kita," pungkasnya.
Hadir dalam kegiatan tersebut Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren) Kementerian Agama Indonesia H Ahmad Zayadi, Kepala Sub Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (Kasubdit PD Pontren) Basnang Said, Kepala Subbagian Hubungan Masyarakat dan Publikasi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Sholla Taufiq, dan beberapa tamu undangan lainnya. [*]
0 Komentar