Kitab Misbahudz Dzalam Syarah Bulughul Maram (Foto: Facebook Rijal Mumazziq Z) |
Oleh: Rijal Mumazziq Z.*
Dalam salah satu dawuhnya, Mbah Maimoen Zubair menegaskan kebanggaan ulama dahulu terhadap kampungnya. Cirinya, menisbatkan nama diri dengan tempat kelahirannya. Biasanya dengan menambahkan ya' nisbat diakhir nama kampung/kotanya. Misalnya, Imam Abu Zakaria An-Nawawi, yang dinisbatkan pada nama desa Nawa, daerah Hauran, Suriah. Ada juga ad-Damanhuri, Assuyuthi, al-Bukhari, al-Kindi, al-Ghazi, al-Baihaqi, al-Jailani, hingga Imam as-Sya'rani yang dinisbatkan pada kampung Saqiyah Abu Sya'rah (Mesir) dst.
Pola penisbatan semacam ini berbeda dengan tradisi di kawasan Maghribi (Afrika Utara), yang lebih menyukai penempelan nama kabilah. Misalnya, karena berasal dari kabilah Sanusi, maka Syekh Muhammad bin Yusuf, penulis Ummul Barahin, menggunakan As-Sanusi di belakang namanya. Termasuk kabilah Jazulah yang merupakan asal dari Syekh Sulaiman al-Jazuli, penyusun Dalail Khairat. Yang paling kondang tentu saja Abu Abdillah Sidi Muhammad bin Daud alias Ibnu Ajurrum, penyusun kitab nahwu Jurumiyah, yang menggunakan nama Asshanhaji karena beliau lahir dari kabilah Shanhajah.
Bagaimana dengan ulama Nusantara yang ada di Makkah? Yang pasti, keberadaan mereka di tanah haram ini dinisbatkan kepada asalnya: al-Bantani, al-Banjari, al-Falimbani, al-Baweyani, as-Sidarjawi, al-Bimawi, al-Jugjawi, al-Bughuri, al-Banyumasi, al-Batawi, al-Fadani hingga al-Kelantani. Mereka berkumpul, saling belajar dan berbagi. Mereka juga menghimpun diri dan bahkan bisa menyelenggarakan pendidikan melalui sebuah lembaga legendaris, Darul Ulum, Makkah.
Foto ini saya dapatkan dari KH. Dhiyaz Almaqdisi Muhajirin. Foto pengajar Madrasah Darul Ulum, Makkah tahun 1950-an. Ayahnya, Syekh Muhajirin Amsar Addari, duduk di samping Syekh Yasin bin Isa al-Fadani. Keduanya ahli hadits. Sama-sama produktif berkarya. Syekh Yasin keturunan Minangkabau, lahir dan wafat di Makkah, sedangkan Syekh Muhajirin lahir di Betawi, belajar dan mengajar di Makkah, lalu kembali ke tanah air merintis pesantren An-Nida' al-Islamy, Bekasi. Mbah Maimoen Zubair, ketika berada di Makkah pada 1950-an sempat ngaji hadits kepada beliau, dan menyebutnya dengan panggilan hormat "Syaikhuna".
Sesama ahli hadits, bersahabat sejak muda, mengembangkan Madrasah Darul Ulum Makkah. Buya Syekh Muhajirin Amsar Addary dengan Syekh Yasin bin Isa al-Fadani |
Reputasi keilmuannya layak diacungi jempol. Syekh Muhajirin atau orang Betawi menyebutnya Tuan Guru Jirin, menulis empat jilid Misbahudz Dzalam, Syarah Bulughul Maram. Karya yang indah dan berbobot. Beberapa karya lainnya masih ditahqiq dan rencana diterbitkan lagi. Dalam catatan keluarga, kurang lebih ada 30 kitab yang beliau tulis. Kajiannya lintas disiplin ilmu: tafsir, nahwu, balaghah, ushul fiqh, ushulul hadits, faraid, Sirah Nabawiyah, mantiq, dan fiqh. Komplit, betul!
Dalam sebuah riwayat, Syekh Muhajirin pernah ditawari posisi sebagai Mufti di salah satu negara bagian di Malaysia. Namun, beliau dengan halus menolak dan lebih memilih kembali ke tanah air, merintis pesantren dan mengajarkan ilmu kepada masyarakat. Sebagaimana ulama terdahulu, beliau bangga dengan kampung halamannya.
Wallahu A'lam Bisshawab
*) Rektor Institut Agama Islam Al-Falah As-Sunniyyah (INAIFAS) Kencong, Jember, Jawa Timur
0 Komentar