Ilustrasi: Liputan6 |
PecintaUlama.ID - Manusia diberikan kemampuan oleh Allah untuk memproduksi air liur. Meskipun terkesan menjijikkan, air liur memiliki banyak kegunaan bagi manusia. Seperti menjaga kebersihan rongga mulut, membantu proses mengecap rasa, mengunyah, dan menelan makanan, mencegah bau mulut, menjaga mulut tetap lembap dan sehat, dan masih banyak lagi lainnya.
Salah satu kebiasaan yang dilakukan oleh kita, baik sengaja maupun tidak sengaja adalah menelan air liur yang diproduksi di dalam mulut kita. Namun bagaimana hukumnya jika hal tersebut dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa? Apakah hal semacam itu diberpolehkan atau tidak?
Mengenai hal ini, Syekh Zainuddin al-Malibari di dalam kitabnya berjudul Fathul Mu'in menyatakan tetap sahnya orang yang sedang berpuasa kemudian menelan air liur yang masih suci dan murni dari sumbernya berupa seluruh bagian mulut meskipun ia telah mengumpulkan terlebih dahulu.
وَلَا يَفْطُرُ بِرِيْقٍ طَاهِرٍ صَرْفٍ اي خَالِصٍ اِبْتَلَعَهُ مِنْ مَعْدَنهِ وَهُوَ جَمِيْعُ الْفَمِّ وَلَوْ بَعْدَ جَمْعِهِ عَلَى الأَصَحِّ
"Tidaklah membatalkan puasa dikarenakan menelan ludah yang suci dan murni dari sumbernya yakni dari semua bagian mulut meskipun setelah dikumpulkan (terlebih dahulu) menurut pendapat yang paling shahih." (Fathul Muin, hlm. 56)
"Alasan utama bahwa puasa tidak batal disebabkan menelan ludah ialah karena hal tersebut menjadi sebuah kebiasaan yang sangat sulit untuk dihindari." (I'anah at-Thalibin, II/261)
Pada kesempatan lain, Syekh Nawawi al-Bantani memberikan penjelasan lebih lanjut di dalam kitabnya Nihayatuz Zain.
بِخِلَاﻑِ ﻣَﺎ ﺇﺫَﺍ ﺧَﺮَﺝَ ﻋَﻦْ ﻣَﻌْﺪَﻧِﻪِ ﻛَﺎﻟْﺨَﺎﺭِﺝِ ﺇِﻟَﻰ ﺣَﻤْﺮَﺓِ ﺍﻟﺸَّﻔﺘَﻴْﻦِ ﺃَﻭْ ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺨْﺘَﻠِﻄًﺎ ﺑِﻐَﻴْﺮِﻩِ ﻛﺒَﻘَﺎﻳَﺎ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡِ ﺃَﻭ ﻣُﺘَﻨَﺠِّﺴًﺎ ﻛَﺄَﻥْ ﺩﻣﻴﺖْ ﻟَﺜَّﺘُﻪُ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻳَﻀُﺮُّ ﻧَﻌَمْ ﻟَﻮ ﺍﺑْﺘَﻠَﻰ ﺑِذٰﻟِﻚَ ﺑِﺤَﻴْﺚُ ﻳَﺠْﺮِﻱ ﺩَﺍﺋِﻤًﺎ ﺃﻭ ﻏَﺎﻟِﺒًﺎ ﺳُﻮﻣِﺢَ ﺑِﻤَﺎ ﻳَﺸُﻖُّ الاِﺣْﺘِﺮَﺍﺯُ ﻋَﻨﻪُ
"Berbeda halnya ketika ludah telah keluar dari tempatnya, seperti ludah yang menempel di kedua bibir atau ludah yang telah bercampur dengan benda lain semisal sisa-sisa makanan atau ludah yang terkena najis ketika gusi berdarah, maka semua itu bisa membatalkan puasa. Catatan, ketika seseorang diuji dengan semua itu (ludah di bibir, tercampur, dan terkena najis) yang berlangsung secara terus menerus atau sangat sering, maka ia mendapatkan toleransi sebatas perbuatan yang sulit dihindarinya." (Nihayatuz Zain, I/188)
Ketika semua perkara benar-benar sulit untuk dihindari, maka tertelannya ludah termasuk ke dalam perkara yang darurat. Sehingga kemudahan yang ditawarkan bisa menjadikan puasa yang dijalankan tetap sah. Wallahu a'lam.
0 Komentar