Jalan Kyai Tamin (Foto: www.ngalam.co) |
PecintaUlamaID - Tapi tak banyak yang mengetahui tentang sejarah dan siapakah sosok Kyai Tamin tersebut. Sebuah nama yang diabadikan di Jalan Kota Malang.
Nama Kyai Tamin cukup dikenal di kalangan warga sekitar Pasar Besar, karena dulu ia berdakwah di sebuah surau atau musala kecil. Surau tersebut merupakan cikal bakal Masjid Noor yang kini berdiri kokoh di sebelah selatan Pasar Besar.
Dari data yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber, Kiai Tamin merupakan putra dari ulama tersohor di daerah Genteng, Pasuruan, yakni KH Ghofur. Selama hidupnya, Kiai Tamin memiliki tiga orang istri, satu di Malang dan dua di Pasuruan. Istri yang ada di Malang bernama Hj Maryam. Dari hasil pernikahannya itu, Kiai Tamin mempunyai seorang anak bernama Aisyah. Kelak, Aisyah dipersunting oleh Moch Sun’an, Bupati Malang pada periode 1964-1969.
Dari hasil pernikahan Moch. Sun’an dengan Aisyah, keduanya mempunyai enam orang anak. Dilansir dari koran Radar Malang, anak keenam Moch. Sunan dan Aisyah, yakni Laila Martini tinggal di Perumahan Villa Sengkaling. Informasi sukses digali dari cucu Kiai Tamin tersebut dan suaminya, M Romdlon.
Berdasarkan informasi yang ia terima dari kedua orang tuanya, Laila bercerita, bahwa Kiai Tamin merupakan pendakwah asli Pasuruan. Tak heran, mungkin inilah alasan mengapa Kiai Tamin diceritakan mempunyai dua istri yang ada di Pasuruan, selain satu istri di Malang.
Kedua kota tersebut memang menjadi tempat utama Kyai Tamin untuk berdakwah. Masih menurut Laila, dalam berdakwah, kakeknya berpindah-pindah dari sejumlah masjid dan surau yang ada di Kota Malang, termasuk di sebuah surau yang ada di selatan Pasar Besar yang kini sudah menjadi Masjid Noor.
Kiai Tamin memang dikenal sebagai sosok ulama yang teguh dalam mempertahankan akidah dan prinsip ketuhanan. Pernah suatu ketika, sekitar tahun 1943, Pemerintah Jepang yang sedang berkuasa di Kota Malang, meminta warga untuk menyembah matahari. Orang Jepang punya kepercayaan menyembah matahari dengan sedikit membungkukkan badan setiap pagi hari. Suami Laila, M. Romdlon menambahkan, permintaan tersebut langsung ditolak mentah-mentah oleh Kiai Tamin, karena memang menurut pandangannya, menyembah matahari sama saja dengan menduakan Allah.
Penolakan inilah yang memicu Pemerintah Jepang menangkap Kiai Tamin, karena mungkin dikhawatirkan bakal mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Kala itu, Kiai Tamin dimasukkan ke tahanan milik Jepang yang terletak di sekitar Alun-Alun Merdeka Kota Malang. Kini, penjara itu sudah menjadi pusat perbelanjaan Ramayana. Menurut M. Romdlon, kakek Laila itu sempat ditahan lama, karena ibu mertuanya (anak Kiai Tamin) sempat menyambangi ketika ditahan.
Namun, tak lama setelah itu, Kiai Tamin dipindah ke Lapas Sukamiskin, Bandung. Dikabarkan, sang kiai meninggal dalam masa tahanan di penjara ini. Masih menurut suami Laila, berdasarkan cerita orang tua yang pernah didengarnya, Kyai Tamin meninggal bukan karena disiksa Jepang. Sepengetahuannya, sang kakek meninggal karena beliau mempunyai sakit sesak napas.
Karena penyakit inilah, ketika di rumah, Kiai Tamin sering tidur beralaskan penghangat yang terbuat dari arang. Diperkirakan, fasilitas itu tak didapatkan selama mendekam di dalam penjara.
Sayang, baik Laila maupun suaminya sama-sama tak mengetahui tahun berapa kakek mereka meninggal. Romdlon menjelaskan, keluarga besar kehilangan kontak setelah Kiai Tamin dipindahkan ke Lapas Sukamiskin. Karena tidak ada kontak inilah, keluarga tidak tahu kapan Kiai Tamin meninggal. Bahkan, keluarga baru mendapat kabar kalau Kiai Tamin dimakamkan di Pemakaman Muslim Pasir Impun Barat, Kelurahan Pamulang, Kecamatan Mandala Jati, Bandung pada tahun 1972.
Saat itu, menantu Kiai Tamin yang bernama Moch. Sun’an sedang bertugas di Bandung sebagai anggota DPR RI setelah menghabiskan masa jabatannya sebagai Bupati Malang. Moch. Sun’an bertanya kepada salah seorang sipir di Lapas Sukamiskin, dan kebetulan bertemu dengan orang yang merawat Kyai Tamin sebelum meninggal. Dari penelusuran keluarga beberapa kali, diketahui kalau Kiai Tamin dimakamkan bersebelahan dengan kiai asal Pasuruan lainnya yang saat itu juga ditahan oleh Jepang, yakni KH Muhammad Khuzaimi.
Namanya kemudian diabadikan sebagai nama jalan yang ada di sebelah selatan Pasar Besar Kota Malang, di mana surau sebagai tempat Kyai Tamin berdakwah berada. Namanya akan selalu dikenang sebagai pahlawan di tengah hiruk-pikuk aktivitas perniagaan jalan tersebut.
0 Komentar