Wirdul Lathif. (Foto: NU Online) |
PecintaUlamaID - Pasti kita semua sudah tidak asing dengan kata wirid. Wirid berasal dari Bahasa Arab, yakni kata Al-Wirdu yang berarti "segala amal shaleh yang mendekatkan seseorang kepada Allah yang Maha Megah dan Maha Pengampun".
Dalam definisi yang lain adalah bisa diartikan sebagai "segala amal shaleh yang terisilah segala waktu dengannya dan tercegah segala anggota dengan sebabnya pada jatuh ke dalam segala sesuatu yang tidak baik".
Jadi yang dimaksud dengan Al-Wirdu adalah segala bentuk amal shaleh yang bersifat ibadah atau yang dianggap baik untuk mencari keridhaan Allah dan untuk menghampirkan diri kepada Allah. Baik itu amal shaleh yang bersifat lahiriah maupun sifatnya bathiniah.
Apabila amal-amal shaleh itu ditetapkan mengerjakannya pada waktu-waktu tertentu, berarti terisilah waktu-waktu itu dengan hal-hal yang baik dan jauh segala anggota kita pada mengerjakan segala sesuatu yang tidak diingini menurut agama. [1]
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bolehkah kita mengamalkan wirid tanpa adanya guru atau yang mengijazahi kita? Mari kita simak penjelasan dari Habib Luthfi bin Yahya, Rais Am Idarah 'aliyyah Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah yang pernah dimuat dalam Majalah Al-Kisah no.08 tahun 2004.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bolehkah kita mengamalkan wirid tanpa adanya guru atau yang mengijazahi kita? Mari kita simak penjelasan dari Habib Luthfi bin Yahya, Rais Am Idarah 'aliyyah Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah yang pernah dimuat dalam Majalah Al-Kisah no.08 tahun 2004.
***
Assalamu'alaikum,
Habib Luthfi yang kami hormati, saya senantiasa banyak mengamalkan wirid; antara lain Asmaul Husna, selawat Nariyah, selawat Munfarijiyah, selawat Thibbiyah, ayat Kursi dan sebagainya.
Terus terang Habib, kami dapatkan wirid ini semua dari buku, bukan dari guru. Saya tertarik karena khasiat atau manfaat wirid-wirid itu yang begitu besar.
Pertanyaan kami, mungkinkah amal saya diterima Allah padahal ilmu tersebut tidak kami dapatkan melalui dari guru. Apakah karena tanpa guru itu sehingga agaknya tujuan kami menjadi tersendat, tak seperti manfaat yang dituliskan dalam buku tersebut.
Tolong Habib, apakah ada jalan keluarnya dalam mengamalkan wirid-wirid itu tanpa ijazah dan guru. Terimakasih.
Wassalum'alaikum.
Jawab:
Wa'alaikumussalam,
Sebelumnya perlu diketahui, kegiatan itu tidak bisa dikategorikan tarekat. Itu memiliki arti sebagai nilai tambah yang menjadi kewajiban, diluar shalat lima waktu.
Sudah selayaknya pendekatan kepada Allah tidak terbatas hanya pada shalat lima waktu. Karena ia memiliki kemampuan untuk mendorong kekhusyuan, kebutuhan, dan keperluan kita kepada Allah Ta'ala. Masa sih kita hanya mau mendapatkan lima waktu?
Selain itu, ia berarti melatih pendekatan agar awrad, wirid yang kita lakukan itu bisa memperkuat kedudukan kita dalam shalat. Ini penting, karena shalat adalah kegiatan pertama yang ditanyakan setelah kiamat nanti.
Selain akhlak dan adab, keutamaan shalat dinilai melalui kekhusyukan, tanpa dilatih dengan membaca awrad atau wiridan-wiridan dan sebagainya itu akan sulit dicapai.
Dengan bacaan dan awrad-awrad itu kita akan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah selain hanya pada salat lima waktu.
Menjawab pertanyaan anda, dalam satu sisi, niat ibadah itu, tidak ada yang tercela. Semua baik, tapi afdhal-nya kita harus berjalan dalam aturan yang baik berdasarkan pelajaran yang diterima. Karena sesuatu yang tidak tepat dari yang sebenarnya, sama artinya membeli obat tanpa resep. Tahu khasiat obat-obatan tapi tidak mengetahui seberapa besar dosisnya.
Buku-buku itu seperti obat-obatan. Kalau meramu sendiri, sesuai dengan buku, itu artinya sekadar teori. Buku tidak pernah menceritakan orang-orang yang pernah meminum obat itu. Karena itu, perlulah kiranya seorang guru.
Apalagi makna dalam doa yang keluar dari hadist atau perintah Allah, tidak dapat ditafsirkan semudah itu. Untuk dapat dimaknai, harus sesuai asbabaun nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur'an), dan asbabul wurud (sebab-sebanya dikeluarkan hadist). Jadi mana mungkin akan menempatkan dhamir (keterangan) atau khitab (landasan). Atau minimal secara jamaknya akan tepat bila memiliki guru, terkecuali shalawat Nabi. Maka praktis, yang lainnya itu sulit. Jadi sebaiknya semua itu menggunakan guru.
Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, (Pekalongan)
Ra'is Am Idarah 'aliyyah Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN)
Sumber:
[1] Sufiroad
[2] Karyabuatanku
Habib Luthfi yang kami hormati, saya senantiasa banyak mengamalkan wirid; antara lain Asmaul Husna, selawat Nariyah, selawat Munfarijiyah, selawat Thibbiyah, ayat Kursi dan sebagainya.
Terus terang Habib, kami dapatkan wirid ini semua dari buku, bukan dari guru. Saya tertarik karena khasiat atau manfaat wirid-wirid itu yang begitu besar.
Pertanyaan kami, mungkinkah amal saya diterima Allah padahal ilmu tersebut tidak kami dapatkan melalui dari guru. Apakah karena tanpa guru itu sehingga agaknya tujuan kami menjadi tersendat, tak seperti manfaat yang dituliskan dalam buku tersebut.
Tolong Habib, apakah ada jalan keluarnya dalam mengamalkan wirid-wirid itu tanpa ijazah dan guru. Terimakasih.
Wassalum'alaikum.
Jawab:
Wa'alaikumussalam,
Sebelumnya perlu diketahui, kegiatan itu tidak bisa dikategorikan tarekat. Itu memiliki arti sebagai nilai tambah yang menjadi kewajiban, diluar shalat lima waktu.
Sudah selayaknya pendekatan kepada Allah tidak terbatas hanya pada shalat lima waktu. Karena ia memiliki kemampuan untuk mendorong kekhusyuan, kebutuhan, dan keperluan kita kepada Allah Ta'ala. Masa sih kita hanya mau mendapatkan lima waktu?
Selain itu, ia berarti melatih pendekatan agar awrad, wirid yang kita lakukan itu bisa memperkuat kedudukan kita dalam shalat. Ini penting, karena shalat adalah kegiatan pertama yang ditanyakan setelah kiamat nanti.
Selain akhlak dan adab, keutamaan shalat dinilai melalui kekhusyukan, tanpa dilatih dengan membaca awrad atau wiridan-wiridan dan sebagainya itu akan sulit dicapai.
Dengan bacaan dan awrad-awrad itu kita akan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah selain hanya pada salat lima waktu.
Menjawab pertanyaan anda, dalam satu sisi, niat ibadah itu, tidak ada yang tercela. Semua baik, tapi afdhal-nya kita harus berjalan dalam aturan yang baik berdasarkan pelajaran yang diterima. Karena sesuatu yang tidak tepat dari yang sebenarnya, sama artinya membeli obat tanpa resep. Tahu khasiat obat-obatan tapi tidak mengetahui seberapa besar dosisnya.
Buku-buku itu seperti obat-obatan. Kalau meramu sendiri, sesuai dengan buku, itu artinya sekadar teori. Buku tidak pernah menceritakan orang-orang yang pernah meminum obat itu. Karena itu, perlulah kiranya seorang guru.
Apalagi makna dalam doa yang keluar dari hadist atau perintah Allah, tidak dapat ditafsirkan semudah itu. Untuk dapat dimaknai, harus sesuai asbabaun nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur'an), dan asbabul wurud (sebab-sebanya dikeluarkan hadist). Jadi mana mungkin akan menempatkan dhamir (keterangan) atau khitab (landasan). Atau minimal secara jamaknya akan tepat bila memiliki guru, terkecuali shalawat Nabi. Maka praktis, yang lainnya itu sulit. Jadi sebaiknya semua itu menggunakan guru.
Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, (Pekalongan)
Ra'is Am Idarah 'aliyyah Jam'iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN)
Sumber:
[1] Sufiroad
[2] Karyabuatanku
0 Komentar