Pembukaan pengajian Shahih Bukhari di Pesantren Tebuireng bersama (alm) KH Habib Ahmad pada tahun 2019. (Foto: Instagram @cerita_tebuireng) |
Sejak dahulu kala perkembangan dan kemajuan dunia Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh besar dunia pondok pesantren. Setiap pondok pesantren asli Indonesia memiliki figur sentral ulama yang enggan untuk disebut-sebut sebagai ulama, sehingga mereka lebih nyaman apabila dipanggil kiai, ajengan, guru, tuan guru, abuya, dan sebagainya.
Ulama sebagai figur sentral di pondok pesantren bukan sekedar bertanggungjawab untuk mentransfer ilmu-ilmu dasar agama, melainkan lebih penting dari itu adalah contoh teladan terbaik di hadapan para santrinya. Ulama di pondok pesantren adalah teladan mereka, karena ulama adalah manusia yang mendedikasikan hidupnya untuk senantiasa meneladani Rasulullah, baik dari sisi ilmunya maupun akhlaknya. Dengan demikian, dari dunia pondok pesantren akan dan telah terlahir generasi yang bermanfaat bagi manusia lainnya, yang bukan saja pandai mengutip ayat atau hadits Nabi, melainkan lebih penting dari itu menjadi "santri" yang mampu untuk meneladani akhlak Nabi Muhammad sepanjang hayatnya, sehingga ia pun menjadi contoh teladan terbaik bagi masyarakat sekitarnya.
Saya sebut sebagai pesantren asli Indonesia, karena para kiai pengasuhnya selalu memberikan keteladanan akan arti penting mencintai tanah air Indonesia. Karena bumi Indonesia adalah tempat yang wajib dijaga keamanannya agar agama dapat terjaga dengan cara diajarkan dengan sebenar-benarnya dan dilaksanakan dengan sempurna. Terbukti bahwa tidak terhitung jasa para kiai dan para santri yang telah berjihad mengusir penjajah dari bumi kita, selain mengusir sejauh mungkin penyakit kebodohan dari jiwa manusia sebagai salah satu sebab pengganggu keamanan negara.
Saya sebut pesantren asli Indonesia, karena sejak dahulu kala hingga kini nama-nama pondok pesantren itu meskipun terkadang ada nama Arabnya, namun lebih sering populer disebut nama daerah tempat lokasinya, seperti pondok pesantren Bangkalan (Madura), pondok pesantren Langitan (Tuban), pondok pesantren Lirboyo (Kediri), pondok pesantren Ploso (Kediri), pondok pesantren Tebuireng (Jombang), pondok pesantren Kempek (Cirebon), pondok pesantren Buntet (Cirebon), pondok pesantren Babakan Ciwaringin (Cirebon), pondok pesantren Leler (Banyumas), pondok pesantren Kesugihan (Cilacap) dan masih sangat banyak yang tidak bisa disebutkan lagi.
Pendek kata, untuk menjadi pusat tafaqquh fiddin (pendalaman ajaran agama Islam ) yang berasal dari dunia Arab maka tidak harus mengimpor apa saja yang berbau budaya Arab, melainkan bahwa dunia pondok pesantren tetap tidak pernah keluar dari berkomitmen untuk menjaga dan menjunjung tinggi budaya lokal. Menjadi seorang muslim Indonesia itu tidak mesti harus seperti orang Arab dengan segala budayanya. Sehingga tepat dan benarlah ungkapan kaidah fikih, bahwa tidak patut keluar dari adat kebiasaan orang di sekitar kita sepanjang adat istiadat itu tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Pondok pesantren di Indonesia adalah hasil budaya asli bangsa Indonesia yang biasanya akan secara turun temurun diwariskan. Maka sebagai "barang warisan", setiap pondok pesantren yang ada mestilah dijaga dari kepunahan, harus terus dikembangkan dan "lebih dicanggihkan" agar tidak tergerus atau terpinggirkan oleh kompleksitas perkembangan zaman. Jika tidak dipelihara, maka pondok pesantren "barang warisan" itu akan habis atau akan menjadi barang antik seperti keris sakti yang kehebatannya hanya bisa menjadi bahan cerita untuk berbangga-bangga dari para pewaris "Gus atau Kang" dunia pondok pesantren.
KH Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 2015-2021
0 Komentar