Istilah anal seks sendiri diartikan sebagai aktivitas seksual melalui lubang anus atau dubur. Dalam kacamata Islam, aktivitas seks ini dianggap menyimpang dan melanggar batas walaupun dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dan saling menghendaki. Sebagaimana yang dipaparkan oleh an-Nawawi dalam Syarah Muslim bahwa seluruh ulama telah bersepakat atas keharaman menggauli istri di duburnya baik dalam keadaan haid maupun suci karena terdapat hadits-hadits yang masyhur mengenai keharaman hal tersebut, di antaranya adalah hadits dilaknatnya seseorang yang menjimak istrinya lewat dubur.
واتفَق العُلَماءُ الذين يُعتَدُّ بهم، على تحريمِ وَطءِ المرأةِ في دُبُرِها حائِضًا كانت أو طاهِرًا؛ لأحاديثَ كثيرة مشهورة كحديث ملعون من أتى امرأة في دبرها قال أصحابنا لا يحل الوطء في الدبر في شيء من الآدميين ولا غيرهم من الحيوان في حال من الأحوال والله أعلم (شرح النووي على مسلم, 10/6).
Bahkan al-Ainy, yang merupakan tokoh Madzhab Hanafiy, menjelaskan dalam kitabnya al-Binayah Syarh Hidayah, bahwa seluruh kalangan sahabat dan tabi'in bersepakat dan tak satupun yang khilaf atau berbeda pendapat mengenai keharaman anal seks, kecuali pendapat Ibnu Umar dan Nafi’ yang menghalalkan hubungan lewat dubur tersebut, namun pendapat Ibn Umar dan Nafi’ ini dinilai ingkar sehingga tidak layak dijadikan pijakan hukum.
وقد انعقد الإجماع على تحريم إتيان المرأة في الدبر، وإن كان فيه خلاف قديم فقد انقطع. وكل من روي عنه إباحته فقد روي عنه إنكاره. فأما القائلون بتحريمه من الصحابة – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – فعلي بن أبي طالب وابن عباس وأبو هريرة وأبو الدرداء وابن مسعود. ولم يختلف عليه أحد من الصحابة إلا ابن عمر، ومن التابعين إلا نافع. (البناية شرح الهداية, 6/308).
لكن قال الماوردي: (اعلَمْ أنَّ مذهَبَ الشافعيِّ وما عليه الصَّحابةُ وجمهورُ التابعين والفقهاءِ: أنَّ وطءَ النساء في أدبارِهنَّ حَرامٌ. (الحاوي الكبير, 9/317(
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
Menanggapi ayat tersebut, Ibn Katsir dalam tafsirnya (2000: 305) , menjelaskan bahwa makna شِئْتُمْ "kamu kehendaki" tidak lantas memberikan pengertian bebas sebebas-bebasnya namun bagaimanapun model jima’nya yang terpenting tetap pada في صِمام واحد "melalui satu katup (vagina)".
Dipertegas pula dengan salah satu hadits yang berbunyi:
فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ائتها على كل حال، إذا كان في الفرج
وَدَلِيلُنَا: قَوْله تعالى: {وَيَسْئَلُونَكَ عَنِ المَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذَى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي المَحِيضِ) {البقرة: 222) . فحرم الوطء في الْحَيْضِ لِأَجْلِ الْأَذَى فَكَانَ الدُّبُرُ أَوْلَى بِالتَّحْرِيمِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ أَذًى )الحاوي الكبير,9/ 318)
Prespektif Hukum Positif Indonesia
Bentuk aktivitas seksual berupa anal seks yang terjadi dalam sebuah ikatan perkawinan tidaklah dijumpai dalam hukum positif di Indonesia, Namun perbuatan anal seks tersebut menjadi terlarang dan diancam dengan sanksi pidana jika dilakukan dengan perbuatan kekerasan seksual oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang sering diistilahkan dengan marital rape.- Force-only rape yaitu seorang suami memaksa dan mengancam istri untuk melakukan hubungan seksual padahal diketahui bahwa sebelumnya istri menolak
- Battering rape yaitu seorang istri mengalami kekerasan fisik dan seksual sekaligus ketika suami memaksanya untuk melakukan hubungan seksual
- Obsessive rape yaitu seorang istri atau suami mengalami kekerasan seksual dalam berupa perlakuan sadis saat melakukan hubungan seksual seperti dengan pukulan, menarik rambut atau bahkan menggunakan senjata tajam guna mendapatkan kepuasan seksual.
Dengan demikian marital rape ini dapat dipandang sebagai perbuatan kekerasan seksual yang terlarang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Lalu kemudian dipertegas pula dengan Pasal 5 UU PKDRT bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran rumah tangga.
Mengenai sanksi pidanya diatur dalam Pasal 8 huruf a UU PKDRT yang menjelaskan bahwa Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp36 juta.
Adapun makna kekerasan seksual sebagaimana dimaksud yaitu mencakup pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, termasuk pemaksaan hubungan seksual oleh seorang suami terhadap istri atau sebaliknya. Sehingga dapat dipahami bahwa semangat dari UU PKDRT adalah guna melindungi hak-hak perempuan, termasuk istri dalam rumah tangga. Apalagi jika menilik data yang disampaikan oleh Komnas Perempuan, bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 tercatat sebesar 299.911 kasus.
Dari penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa anal seks atau hubungan seksual melalui dubur yang dilakukan oleh pasangan suami istri merupakan aktivitas seksual yang diharamkan oleh Islam dan lebih lanjut dapat pula diancam dengan sanksi pidana jika dilakukan dengan perbuatan kekerasan seksual.
Mengenai sanksi pidanya diatur dalam Pasal 8 huruf a UU PKDRT yang menjelaskan bahwa Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp36 juta.
Adapun makna kekerasan seksual sebagaimana dimaksud yaitu mencakup pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, termasuk pemaksaan hubungan seksual oleh seorang suami terhadap istri atau sebaliknya. Sehingga dapat dipahami bahwa semangat dari UU PKDRT adalah guna melindungi hak-hak perempuan, termasuk istri dalam rumah tangga. Apalagi jika menilik data yang disampaikan oleh Komnas Perempuan, bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 tercatat sebesar 299.911 kasus.
Dari penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa anal seks atau hubungan seksual melalui dubur yang dilakukan oleh pasangan suami istri merupakan aktivitas seksual yang diharamkan oleh Islam dan lebih lanjut dapat pula diancam dengan sanksi pidana jika dilakukan dengan perbuatan kekerasan seksual.
Ustadz Hendri Agustiawan, alumnus Pesantren Tebuireng Jombang
0 Komentar